Fithriyah Binti 'Ibad Abdurrahman

Senin, 30 Januari 2012

Sebatas Inginku (Prolog)

Mataku bisa di bilang rabun. Aku rasa begitu, sulit sekali untuk menerka sesuatu yang sangat jauh. Tapi aku bisa melihat indahnya langit di senja hari. Canggihnya langit di fajar hari, siangnyapun sangat cantik. Dan taukah? Betapa indahnya langit di malam hari dengan bintang tersebar yang aku sendiri tidak tahu seberapa banyak rupanya. Tidak masalah dengan rabunnya mataku. Aku sangat menikmati detik demi detik peglihatanku. Ingin rasanya membeli sebuah kacamata indah agar memperjelas penglihatanku. Tapi apa daya? Aku anak panti yang tahu diri, aku tidak tega mengeluhkan mataku ini pada ibu Hana, ibu asuh di panti.

Aku sering diam-diam mendengar ibu Hana berdoa di pagi hari. Dari doa-doa yang terucap, aku bisa menyimpulkannya bahwa banyak sekali kebutuhan di panti ini. Ibu Hana bagiku adalah malaikat yang Tuhan kirimkan untuk kami, anak-anak sebatang kara.

Panti kami tidak sempit namun juga tidak luas. Tidak terlihat seperti panti-panti di kota metrapolitan. Ibu Hana membangun panti ini karena rasa cintanya kepada anak yatim, beliau menghibahkan satu rumahnya yang sangat sederhana untuk tempat kami tinggal, rumah itu menjadi panti kebahagiaan kami. Terkadang panti ini belum maksimal memenuhi kebutuhan. Kalau saja panti kami di bawah naungan pemerintah, mungkin saja mengurangi beban bu Hana. Tapi seperti yang pernah beliau katakan, bahwa setiap manusia memiliki masing-masing rezekinya sendiri, dan rezeki seseorang tidak akan pernah bisa tertukar dengan orang lain. Aku yakin, itu salah satu yang membuat beliau terlihat tidak ada beban di mata kami. Karena rezeki untuk kami masing-masing pasti akan datang.

Aku punya banyak adik dan kakak di sini. Jumlah kami yang banyak tentunya banyak pula kebutuhan yang mesti di penuhi oleh panti ini. Aku pernah memergoki ka Asti sedang melapor kepada bu Hana. Asti, kakak pantiku yang sudah menduduki kelas-x SMA. Dia sudah dua bulan menunggak biaya bulanan sekolah. Setahuku banyak yang masih menunggak. Syukurnya aku terbebas dari biaya sekolah karena beasiswa yang aku dapatkan. Aku yakin bu Hana keteteran soal biaya kami. Tapi wajahnya itu, beliau selalu terlihat teduh. Bila memandangnya dan mendengar ucapannya bisa menentramkan hati. Beliau menanamkan keyakinan pada kami bahwa Tuhan selalu ada untuk kami, tidak akan membiarkan kami kelaparan, atau membiarkan kami berhenti untuk menuntut ilmu di sekolah.

Tuhan tidak akan mengecewakan hamba-Nya yang sangat yakin terhadap-Nya. Keyakinan aku dan anak panti yang lainnya terhadap Tuhan, membuat kami yakin bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami. Tuhan sangat sayang pada anak yatim dan piatu seperti kami. Maka bagi mereka yang faham, pasti akan berlomba-lomba menyantuni kami. Terkadang banyak yang datang ke panti untuk mendermakan hartanya, memberi kami banyak dus berisi mie instan, ada pula yang memberi sembako untuk panti kami. Kalau saja boleh memilih, aku ingin bukan aku yang di beri, tapi akulah yang memberi. Walau begitu, aku akan berusaha untuk menjadi anak yang berguna untuk bangsa ini. Bukan masyarakat, bukan pula beban masyarakat.

Aku masih ingat, ketika Ani mengadukan sepatu sekolahnya yang sudah rusak, sudah tidak layak untuk di pakai. Ibu Hana dengan bijak memberikan pengertian pada Ani untuk sabar, memberikan keyakinan bahwa Tuhan akan segera menurunkan rezeki untuknya. Keesokan harinya, perusahaan sepatu berkunjung ke panti kami mengirimkan sepatu untuk seluruh anak panti. Kesenangan yang tak terhingga kulihat pada wajah lugu anak-anak panti, terlebih Ani yang benar-benar menginginkannya. Aku semakin sayang pada Tuhan. Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami di sini. Karena Tuhanlah yang menggerakkan hati mereka di luar sana untuk berbagi kebahagiaannya bersama kami.

Aku akan kesal jika melihat anak-anak di rumah gedongan merengek minta ini dan itu. Memaksa orang tuanya untuk menuruti apa yang ia inginkan. Andai mereka tahu seberapa besar inginku berkumpul bersama ayah ibuku. Karena bagiku mereka harta terindah yang tidak sempat aku temui. Ayah dan ibu yang tidak pernah aku lihat seperti apa parasnya. Ibu? Aku masih bingung jika mendapat tugas untuk menceritakan seperti apa ibu itu.

Aku lahir dengan keadaan yatim dan piatu. Ibu Hana mendapati aku sedang tertidur di pangkuan seorang wanita muda. Wanita muda itu mengaku sebagai adik dari almarhumah ibuku. Dia menangis memelukku. Informasi yang ibu Hana dapatkan darinya bahwa ibuku meninggal setelah melahirkan, dan ayahku meninggal ketika ibu mengandungku tiga bulan. Ayah mengalami kecelakaan lalu lintas. Kata bu Hana wanita muda itu terlihat berat menitipkan aku padanya. Tapi karena diapun tidak mampu untuk mengurusku maka tidak ada jalan lain selain menitipkannya ke panti ini. Mendengar cerita ibu Hana rasanya haru sekali, tapi dengan mendengar itu aku jadi tahu kalau aku masih memiliki saudara dari almarhumah ibuku. Aku berusaha ingin tahu keberadaannya, sampai-sampai aku memaksa ibu Hana untuk menemani aku mencarinya. Kami berdua sempat mengunjungi alamat wanita itu dari data identitasku yang ibu Hana simpan. Tapi sayangnya lokasi yang tercantum di dataku itu kini berubah, karena yang kita dapati bukanlah rumah, tapi sebuah pabrik kertas. Disekitar lokasi itu hanya ada pabrik-pabrik, bukanlah permukiman masyarakat. Kenyataan seperti itu membuatku sangat sedih. Tapi biarlah, lama-lama aku bisa menerimanya. Aku percaya Tuhan akan mempertemukan kami, entah itu kapan.

Berbeda dengan kisah dengan Ridwan, Sari dan anak panti lainnya. Sari pernah menceritakan kisahnya kepadaku. Dia dititipkan sejak usia tiga tahun di panti ini oleh ibunya karena ibunya sudah tidak mampu mengurusnya. Selama tiga tahun pertama bersama, ibunya membesarkan Sari dengan hasil mengemis di jalanan. Ayah Sari meninggal ketika Sari berusia empat bulan dikarenakan menderita penyakit jantung. Sari mengetahui semua hal itu dari bu Hana. Sampai saat ini dia masih mencari dimana ibunya sekarang.

Aku juga tahu bagaimana dengan apa yang di alami Ridwan. Dia dititipikan di panti ini empat hari setelah dilahirkan. Ayahnya yang menitipkannya di panti ini. Ibu Ridwan meninggal seperti ibuku, meninggal setelah melahirkan. Ayah Ridwan bekerja mencari kayu dari atas gunung untuk di jual. Tidak banyak yang diperoleh beliau. Dari 1kg di hargai Rp200,00. Bisa di bayangkan penghasilan ayahnya yang tidak sebanding dengan usahanya dari mulai mendaki, mencari, dan menuruni gunung. Tentunya berat kayu-kayu itu banyak menguras tenaga. Dari cerita ibu Hana kepada Ridwan, ayahnya sering menjenguki Ridwan dua hari sekali sampai Ridwan berusia tiga bulan. Tapi setelahnya beliau tidak pernah terlihat lagi.

Tuhan, sebatas aku mampu bersyukur. Aku sangat menikmati kebersamaanku bersama teman-teman sebayaku di sini. Aku punya banyak sekali cerita begitupun dengan mereka. Tahukah? Jika kami bercerita, banyak hal yang membuat kami menangis bersama, tapi tenanglah Tuhan. Setelahnya kami semakin bersyukur dan semakin lekat sayangnya pada-Mu, tentunya bersama keluarga sederhanaku di sini. Tuhan, terimakasih untuk sebuah keluarga terindah.

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar