Fithriyah Binti 'Ibad Abdurrahman

Senin, 30 Januari 2012

Sebatas Inginku (3)

“Dari mana kamu Bil? Bapak dari tadi mencari kamu.” Tanya pak guru ketika aku dan Arifin berdiri di hadapannya.

“Maaf Pak, Nabil Cuma penasaran sama sekolah ini, sekolahnya mewah. Jadi dari tadi Nabil memutari sekolah ini Pak. Sekolahnya tiga kali lipat dari sekolah kita yah Pak?” Jawabku setelah bersalaman mencium tangan pak guru sebagai tanda hormat.

“Biarpun sekolah kita tiga kali lebih kecil, tapi sekolah kita mempunyai anak didik yang baik dan unggul seperti kamu dan yang lainnya.” Tutur pak guru tersenyum mengelus-elus kepalaku.

“Ayo kita ke aula, sebentar lagi pengumumannya.” Ajak pak guru menepuk pundakku.

“Tapi tunggu sebentar Pak, ibu panti Nabil bilang beliau mau kesini beserta anak panti lainnya.”

“Ibu pantimu?” Tanya pak guru kurang yakin dengan apa yanga baru saja beliau dengar. Aku menggangguk-angguk tersenyum meyakinkan bahwa aku tidak mengada-ada.

Pak guru mungkin memang terkejut mendengarnya, karena lokasi sekolah ini jauh dari daerah kami, ini kota metrapolitan. Sedang daerah kami masih pedesaan, Lebak. Yah di Lebak tempat kami tinggal. Aku disini atas nama pelajar dari provinsi Banten yang mengikuti seleksi lomba tingkat Nasional. Ada beberapa pelajar dari bebapa kabupaten yang lulus dalam seleksi sebelumnya. Salah satu nama yang lulus adalah aku.

“Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya kalau ibu pantimu mau datang? Kita bisa berangkat bersama.” Tanya pak guru lagi.

“Nabil enggak berfikir sampe ke situ Pak.” Jawabku polos.

“Apa karena kamu mikirin hasil pengumumannya ya Nak?” Tanya pak guru lagi. Aku diam.

“Tenang aja, biar hasilnya kita serahkan pada Tuhan. Sejauh ini kamu udah berusaha dan berdoa. Selanjutnya Tuhan yang berkehendak.” Tutur pak guru dengan bijak terhadapku.

“Sekarang kita ke Aula, ibu pantimu nanti bapak yang urus. Peserta harus ada di aula sekarang Nak.” Pak guru menatapku dan aku menggangguk.

Satu gedung besar yang di jadikan aula di sekolah itu tampak gagah. Aku tidak bisa mengira-ngira berapa kali lipat ukurannya dari panti tempat aku tinggal. Aku duduk di antara ratusan pelajar bangsa. Beragam siswa-siswi dengan menggunakan seragam kebangsaan dari sekolahnya masing-masing ada di dalamnya. Tampak menarik sekali, banyak yang menggunakan batik dengan ciri khas sekolahnya, banyak juga yang mengunakan seragam yang dilengkapi rompi kotak-kotak dan ada juga yang bergaris. Tentunya banyak juga yang mengenakan seragam pelajar SMP pada umumnya yaitu seragam putih biru seperti yang aku kenakan sekarang.

Mereka tampak bersahaja dengan pakaian rapih dan bersih. Seragamnya seperti masih baru, tidak seperti yang aku pakai. Sudah kusam akibat terus menerus di pakai dan di cuci. Kalau saja aku egois, aku ingin membeli beberapa baju seragam. Tapi aku tidak pantas untuk iri dan mengeluh karena apa yang kudapatkan dari panti sudah lebih dari cukup. Segala fasilitas bagus dan mahal yang aku lihat hanya sekedar dari penglihatan manusia hingga terlihat sangat menakjubkan, berbeda dengan Tuhan. Tuhan bukan melihat manusia dari segi yang aku lihat ini.

“Bil, kamu melamun? Aku perhatikan kamu seperti berfikir keras.” Arifin mengajakku bicara kemudian menyeruput jus dari botol dengan sedotannya.

“Oh, enggak.” Jawabku seadanya.

“Ini minum Bil.” Katanya menyodorkan satu botol kemasan berisi jus jeruk kepadaku.

“Makasih Fin.”Kataku mengambilnya.

“Arifin sama Nabil di sini dulu ya. Bapak kedepan sebentar. Khawatir ibu panti Nabil udah datang, dan kebingungan mencari Nabil,” Tutur pak guru yang bangkit dari tempat duduknya di samping kami.

“Iya Pak.” Jawabku dan Arifin bersamaan.

Sekitar 10 menit pak guru belum juga datang, acara pembukaan di aula ini sudah di mulai, MC sudah berbicara entah mengapa aku jadi merasa panik.

“Fin, Pak guru kenapa belum juga datang?” Tanyaku kepada Arifin yang masih duduk di sebelahku.

“Tenang Bil, sebentar lagi juga datang.” Arifin menenangkan.

Dua tokoh memberi sambutan dan aku semakin panik. 15 Menit pak guru belum juga kelihatan. Kemana pak guru? Bagaimana dengan Ibu Hana dan anak panti lainnya? Seharusnya bu Hana sudah sampai di sini. Apa mungkin mereka belum datang? Apa yang terjadi dengan mereka?

Sampai tibalah saatnya MC memberi pengumuman, dengan mimik yang membuat kami yang hadir di aula ini menjadi Sangat gugup menanti hasilnya. Satu nama di sebutkan untuk juara ketiga bidang fisika, terlihat mulai pucat wajah Arifin. Dia memegang bidang fisika dalam olimpiade ini. Aku yakin dia tidak kalah gugupnya. MC hendak menyebutkan juara keduanya, wajah Arifin semakin pucat. “Bil, pak guru di mana ya?” Ucapnya terbata-bata. Nada suaranya memperjelas bahwa dia sangat gugup. Aku menatapnya dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Peraih juara olimpiade fisika kali ini yaitu dari.. “Tutur MC. Semua yang berada di aula diam untuk mendengarkan kata-kata selanjutnya. Arifin menggenggam celanaku, kurasakan tangannya sedikit basah dan dingin.

“Arifin Ilham dari SMP Negeri 20 Lebak.” Nama itu membuat aku dan Arifin diam sesaat. “Fin..” Kataku menggenggam pundaknya. Suara tepuk tangan meriah memenuhi aula.

“Iii ituuu namaaaa.” Katanya terbata-bata memandangku. Kulihat satu bulir air mata jatuh malu-malu dari sudut mata Arifin. “Iya Fin.” Kataku menggangguk tersenyum. Arifin menerobos tubuhku. Kurasakan tubuhnya bergetar. “Selamat Fin. Kamu Hebat.” Kataku.

“Kepada Arifin di persilahkan untuk maju ke depan.” MC kembali berbicara. Aku merenggangkan pelukannya. Dia mulai bersiap untuk ke depan. “Bil, kamu pasti jadi juara pertama di olimpiade matematikanya.” Kata Arifin menepuk pundakku.

MC mulai mengumumkan juara pertama dari olimpiade fisika. Sampailah giliran hasil seleksi olimpiade matematika. Perasaanku semakin tidak karuan, suasana tegang di tempat ini membuat aku semakin panik. Akupun belum melihat Pak guru dan bu Hana di aula ini. Aku harap mereka baik-baik saja.

MC mengumumkan juara ketiga terlebih dahulu. Bukan namaku yang disebut. Keadaan semakin membuatku gugup. Aku resah, gugup, dan bingung. Satu nama di sebut kembali oleh MC dan bukan lagi-lagi bukan namaku. Aku lemas dan pasrah. Tak lama terdengar satu suara memanggilku. Aku terrkejut, mencari ari mana asal suara itu. Dan kudapati sosok hebat bagiku, ibu Hana. Di sampingnya pak guru dan beberapa anak panti. Beliau berdiri sekitar dua meter dari tempatku. Sigap aku menghampirinya, ibu Hana memelukkku haru.

“Dan juara pertamanya di raih oleh..” Suara itu terdengar seperti bom atom bagiku.

“Maulana Nabil dari SMP Negeri 20 Lebak.” Suara itu terdengar dengan jelas. Tepuk tangan menggema di mana-mana.

“Nak, kamu berhasil. Ibu bangga.” Ibu Hana menguatkan pelukannya. Air mata bu Hana membasahi lenganku. Aku diam tidak bisa berkata-kata.

Pak guru menggenggam kedua lenganku dengan bangga. Akupun maju ke depan berbaris dengan para juara. Bersama anak istimewa nusantara bangsa ini.


#End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar