Fithriyah Binti 'Ibad Abdurrahman

Kamis, 18 April 2013

Cita-cita Si Kecil

Si kecil yang lugu sedang santainya duduk di samping kaca jendela mobil. Bahagia wajahnya bercanda riang bersama sepupu-sepupu seusianya. Kerjap kerjip matanya, celotehnya yg masih polos, sifatnya yang pemalu.
Yah dia sangat pemalu, berkata seperlunya,
Ia hanya akan berbicara seperlunya, tapi lain halnya bila berbicara dengan orang-orang yang ia rasa ia sudah nyaman. Ia akan terbuka, banyak berbicara, banyak meninggalkan jejak-jejak di hati pendengarnya.

Si kecil yang ketika itu belum banyak berfikir tentang hidup, di fikirannya hidup ini sungguh sangat sederhana, sesederhana ia mengemut lolipop, atau menyeruput es orson berwarna orange kesukaannya atau bahkan sesederhana dia bertindak cepat memasukan daging buah durian ke mulutnya yang mungil, buah kesukaannya.

Berbeda dengan kita tentunya, yang sudah berusia, yang banyak memikirkkan sesuatu, tentang hidup, tentang amalan dan tangung jawab lainnya. Berbeda dengan pemikiran polos si kecil yang mengukur segalanya dengan takaran yang sederhana.

Dan ketika kaka ibundanya (uwa), bertanya kepada anak-anak mungil itu satu persatu tentang cita-cita.
ada yang berucap ingin menjadi seorang dokter, ada yang berucap ingin menjadi orang yang sukses, dan ada pula yang malu-malu menjawab atau bahkan ada yang engan untuk menjawab.

"nong ayu," uwa menyapa Si kecil.
"iya wa." Sahutnya malu-malu
"kalau enong mau jadi apa kalau udah besar nanti?"
"Mau naik haji", Tanpa berfikir panjang Si Kecil segera menjawab.
"Naek haji?" uwa tersenyum sambil mengelus-elus kepala si kecil, kemudian berkata,
"naik haji? naik haji pasti bisa, kalau Allah udah manggil kita untuk jadi tamunya, tapi kalau cita-cita pasti ada dong nong. Hayoo nong ayu mau jadi apa kalau udh besar nanti?"
"iyah, itu wa, cita-cita aku mau naik haji kalau udh besar nanti. Aku mau kaya nenek naik haji, pengen kaya uwa yang udah naek haji. Aku juga pasti bisa kan wa?" Celoteh dengan polosnya.

Si kecil, yang setiap melihat acara televisi meliput berjuta manusia berthawaf dengan khidmatnya, ada saja butir butir air mata, malu-malu mengusapnya agar selalu tidak diketahui oleh orang lain.

Si kecil, yang setiap mendengar saudara terdekatnya telah menjadi tamu Allah, selalu saja menangis diam-diam di kamar mungilnya, berontak dalam hati. "Allah, aku juga ingin kesana!"

Si kecil, yang setiap mendengar. 'Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika laka labbaik, Inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulka la syarika laka'
Ada getar getir dalam hatinya.

Usianya bertambah..
Si kecil tumbuh menjadi seorang anak remaja,
Dimulai dari masa balighnya dibalutinyalah busana menutup aurat demi rasa kecintaanya pada Sang Pencipta,

Si kecil kini menjadi wanita remaja dengan kain kudungnya,
selalu saja terngiang akan cita-citanya yang ia ucapkan dulu.
Naik Haji

Pernah dia berbincang dengan kakak sepupunya,
berbicara ringan soal naik haji, berbicara merajut cita untuk pergi bersama,
"Tee, pokoknya kita harus pergi haji bareng yaa." kata si kecil
"Iya insyaAllah kita bisa de, Allah pasti mengundang kita sebagi tamuNYA."
"Bener ya te? teteh bareng-bareng aku berangkatnya." mendekat dengan manja menyentuh lengan kk sepupunya.

dan ketika beberapa tahun kemudian, kk perempuannya menikah kemudian tidak lama dari itu keduanya mendapat undangn dari Allah untuk segera melaksanakan ibadah haji. Bahagia bukan kepalang si kecil mendengarnya, namun jauh di lubuk hatinya, ada sedikit rasa sedih, ada sedikit rasa kecewa, "tee, masih inget dengan janji kita? lalu kapan giliranku untuk pergi kesana?", "Allah, Aku percaya, aku selalu percaya, Enggau akan undang aku suatu saat nanti bukan?"

Setiap saja ia mendapatkan air zam-zam dari peberian sanak saudaranya yang pulang dari Baitullah, di ambilnya segelas kecil air itu, di pandangnya, senyum parasnya, ada cerita dari tatapannya, ada yg ingin hendak ia ceritakan dari pandangannya.

Suatu ketika, ada kabar yang sungguh pernah menggembirakannya, kamu tau apa kabar itu?
Sepulang saudaranya yang lain dari Baitullah sebut saja beliau dengan sebutan ibu wa,
"Ibu wa liat kamu di sana," kata ibu wa memulai mebicaraan.
"Aku? bagaimana bisa?" Si kecil mendekat mulai penasaran dengan apa yang barusan ia dengar.
"iyah, ibu wa juga bingung, ibu wa sama sekali gak sadar kalau kamu itu ada di Indonesia. Jadi ceritanya ibu wa waktu itu lagi thawaf. Dia senyum ke arah ibu wa, ibu wa anggepnya itu kamu, gak lama ibu wa sadar kalau kamu di Indonesia, ibu wa cari-cari orang itu, yang tadinya di deket ibu wa tiba-tiba menghilang. Sungguh rupanya, gak ada yang di buang dari kamu, sama persis." Tutur ibu wa.

Si kecil kala itu rasanya ingin menangis saat itu juga, betapa mengingat dia sudah sangat rindu untuk di undang, betapa ia selalu membayangkan apa yang sedang ibu wanya alami ketika masih di Baitullah.

Hingga suatu saat ayahnya berkata, ucapannya itu seperti kata-kata yang hendak Allah ingin sampaikan lewat lisan ayahandanya.
"Allah itu Maha Kaya, Al-Ghonniy. Kamu minta apapun pasti di kasih, gak ada yang susah bagi Allah, Kamu mau minta apa? Rumah? Mobil? Emas? Ayah gak bisa ngebiayain kamu sekolah lebih lanjut, ayah gak punya pekerjaan tetap, yang bisa bantu kamu buat tetap ngelanjutin sekolah itu ya cuma Allah, kamu minta ke Allah, jadi anak yang baik biar Allah selalu sayang sama kamu, selalu kabulin doa-doa kamu. Banyakin iadahnya, di jaga shalatnya. Apa aja yang kamu mau? Allah pasti bisa kabulin tanpa syarat."

"Allah itu Kaya ya pak? aku percaya kok Allah bisa kabulin apa aja yang aku minta. Aku percaya. bahkan soal naik haji. Allah pasti bisa kan pak bikin aku naek haji? Tapi uang dari mana?" jawabnya

"naik haji? Biayanya yang segitu gak ada apa-apanya bagi Allah, itu terlalu mudah, kalau Allah bilang KUN maka jadilah. Uangnya bisa turun gitu aja dari langit, entah itu dari mana cara nyampeinnya. Kalau kamunya minta dengan sungguh-sungguh dan percaya. Insya Alah, Minta terus ke Allah dan selalu yakin."

14 tahun kemudian,
cita-cita dimasa kecil yang masih terpatri.
Yang selalu saya terngiang-ngiang
Dengan kebiasaan yang sama, menangis ketika liputan di televisi dengan berjuta manusia berhaji, dengan ka'bah, masjid, yah semuanya.

'Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika laka labbaik, Inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulka la syarika laka'

membuatnya hatinya selalu bergetar

Ada getaran yang di dada, rasanya sangat sesak, memndam rindu, rindu sejak lama,
rindu yang di mulai dari tekat di usia dininya, rindu karena semua keyakinannya,

Sungguh rindunya sudah sangat sesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar